23 April, 2009

BAHAN RENUNGAN BUAT PENDIDIK


PEMBELAJARAN MELEK MEDIA
Oleh : Iwan Sumantri, S.Pd
Kemajuan teknologi telah begitu dahsyat merambat kesegala sisi kehidupan manusia, termasuk kemajuan teknologi media. Televisi sebuah benda yang menurut penulis sudah menjadi anggota keluarga yang terus menerus berceloteh tentang berbagai ragam kehidupan selama 24 jam nonstop, menghabiskan waktu dan pikiran kita.
Hampir dapat dipastikan, sebagian besar keluarga (termasuk keluarga guru) di jagat raya ini lebih banyak menghabiskan waktunya bercekrama dengan televisi. Tidak sedikit para remaja (para siswa) yang bertaklid buta kepada benda tersebut, tanpa reserve sama sekali, sehingga televisi akhirnya menjadi pedoman dalam segala aktivitas kesehariannya. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa kebenaran bagi para remaja adalah sesuatu yang ditawarkan dan di “ajarkan” oleh televisi.
Bagi sebagian besar orang, televisi memang sudah memiliki banyak peran, mulai dari peran sebagai guru hingga peran sebagai pengasuh atau baby sitter, yang sangat merugikan perkembangan anak berumur dibawah lima tahun. Hal ini dapat menghitam-putihkan karakter anak di usia selanjutnya.
Televisi memang merupakan benda yang sangat mengasyikan bagi anak, tetapi dampaknya adalah kecerdasan emosi dan kemampuan kognitif serta daya pikirnya dapat terhambat bila terlalu lama waktu dihabiskan di depan televisi, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan di masa berikutnya. Sementara orang tua lebih suka anaknya duduk di muka televisi dibanding bermain di luar rumah.
Mabuk televisi memang sudah begitu jamak di tengah masyarakat kita. Jangankan anak di bawah usia lima tahun, orang dewasapun demikian. Televisi membawa dampak yang tidak kecil terhadap pola hidup orang dewasa seperti meningkatnya budaya konsumtif yang merupakan kesuksesan para produsen memanfaatkan kedahsyatan media.
Karena televisi sudah menjadi bagian dari masyarakat modern, maka sudah selayaknya Departemen Pendidikan Nasional menyisipkan kurikulum yang dapat membimbing masyarakat khususunya peserta didik di sekolah, agar dapat mengetahui dan memiliki bekal untuk berinteraksi dengan media atau televisi. Pemerintah, khsusunya Depdiknas seharusnya sensitif atas kemajuan teknologi terhadap perkembangan dan prestasi belajar siswa, kemudian mencarai alternatif atau terobosan untuk membentengi peserta didik dari dampak negatifnya.
Kurikulum pendidikan sudah saatnya menyisipkan muatan yang memberi arahan atau bimbingan kepada masyarakat, sehingga dapat memanfaatkan media, khususunya televisi, menjadi media yang benar-benar bermanfaat bagi penontonnya. Sebab selama ini penonton tidak mempunyai bekal untuk berinteraksi dengan televisi. Akibatnya, semua yang keluar dari mulut televisi menjadi sebuah kebenaran dan di telan mentah-mentah oleh penonton, khususunya penonton usia dini atau anak-anak.
Penonton perlu diajari apa manfaat bagi mereka dari sebuah tayangan atau iklan yang disampaikan. Disamping itu, penonton sudah selayaknya selektif dalam meonoton tayanag yang ditawarkan oleh pihak televisi, sehingga tidak semua tayangan menjadi tontonan wajib. Sementara pihak pengelola televisi juga harus memikirkan masa depan para penonoton anak-anak. Oleh sebab itu, bentuk tayangan yang menyedot perhatian remaja atau anak-anak selayaknya di tayangkan di luar jam belajar anak.
Disamping itu, pesan yang merugikan penonton perlu dihiliangkan, seperti pesan “tetaplah bersama kami”, sebaiknya diganti dengan “silahkan jika Anda ingin meninggalkan kami”. Dari pesan ini diharapkan penonton akan teringat atau di ingatkan akalu mereka masih memiliki segudang kegiatan yang ternyata jauh lebih bermanfaat dan bernilai dari hanya sekedar menenoton televisi.

02 April, 2009

TEROR UN 2009



TEROR UJIAN NASIONAL DATANG LAGI !
Oleh : Iwan Sumantri, S.Pd
(Guru SMP Negeri 3 Cibadak Kab.Sukabumi)

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dari tahun ketahun yang selalu diwarnai dengan berbagai kontroversi. Ada kelompok yang menolak UN sebagai penentu kelulusan, ada pula kelompok yang selalu mendukung pelaksanaan UN sebagai salah satu alat ukur peningkatan mutu pendidikan. Masing-masing pihak memberi alasan yang rasional dan di dukug dengan berbagai pertimbangan. Meski ditanggapi pro dan kontra Ujian Nasional (UN) tetap akan dilaksanakan.

Terlepas dari kontroversi pro dan kontra, adalah realita yang sulit dipungkiri bahwa pelaksanaan UN senantiasa menjadi ‘TEROR’ bagi para siswa, para orang tua, para guru, para kepala sekolah dan pihak-pihak yang terkait dilapangan sebagai penyelenggara/pelaksana UN.
Pemerintah telah menetapkan ‘pasing grade’ yang tertuang dalam POS UN tahun 2008/2009 dengan nilai rata-rata 5,50, untuk seluruh mata pelajaran yang di ujikan secara nasional. Angka tersebut menunjukkan peningkatan ‘ pasing grade’ UN 2008/2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya minimum 5,25 nilai rata-rata untuk seluruh mata pelajaran yang di ujikan secara nasional.

Ujian Nasional merupakan Teror? Ya, gimana tidak, sejak siswa naik ketingkat kelas IX untuk tingkat SMP/MTs atau yang sejenis, siswa naik ketingkat kelas XII untuk SMA/MA/SMK dan ditambah dengan adanya peningkatan Standar Kelulusan telah mengundang kekhawatiran para siswa, orang tua dan penyelenggara pendidikan mengingat pada tahun sebelumnya 2007/2008 jumlah siswa yang tidak lulus UN cukup banyak dan turut memakan korban beberapa siswa yang tergolong cerdas di sekolahnya.

Kilas balik pelaksanaan UN tahun 2007/2008 diberbagai daerah menjadi fokus berita berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, berbagai peristiwa pun mewarnai dan mengundang keprihatinan, kecemasan, katakutan, dan perasaan lain yang menghinggapi semua komponen pelaksana lapangan dalam UN, bagaikan orang mendapat teror dari seorang teroris yang akan menghancur suatu tempat dengan bom waktunya. Mudah-mudahan ini tidak terjadi untuk tahun sekarang.

Banyak perilaku yang dilakukan oleh penerima teror langsung UN seperti guru , kepala sekolah, wakil kepala sekolah terlibat konspirasi dalam “membantu” kepada para siswanya, hilang jati dirinya, kewibawaannya, moralnya yang terjerumus kepada kepentingan dan keinginan sesaat atas nama reputasi untuk menolong siswa memperoleh hasil UN yang memuaskan. Sang “Pahlawan Tanpa tanda jasa” pun terancam menjadi pesakitan di kursi pengadilan dan menjadi calon penghuni trali besi, alangkah naifnya dan memprihatinkan!
Ujian Nasional nampaknya menjadi ujian terberat bagi siswa dan penyelenggara pendidikan karena dampaknya yang cukup luas. Hampir diseluruh daerah hasil UN dijadikan tolak ukur kinerja Kepala Dinas Pendidikan disuatu daerah, hasil UN juga dijadikan salah satu indikator keberhasilan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dalam memajukan pendidikan di daerahnya.

Dalam rapat-rapat dinas dengan Kepala Dinas Pendidikan para gubernur dan bupati/walikota selalu mengingatkan untuk memperoleh hasil UN yang optimal, para Kepala Dinas tentu saja mengintruksikan kepada para kepala sekolah untuk mensukseskan hasil UN. Intruksi ini diteruskan oleh para kepala sekolah kepada para panitia UN disekolah-sekolah penyelenggara UN ( terutama guru-guru mata pelajaran yang di UN-kan).
Instruksi ini mengandung dua konsekuensi, tidak menutup kemungkinan ada kepala sekolah yang dengan kesadaran yang tinggi mempersiapkan anak didiknya untuk menghadapi UN dan melaksanakan UN dengan fair yang jumlahnya sedikit.
Disisi lain mungkin ada kepala sekolah yang pesimis dengan potensi anak didiknya, kurang optimal dalam persiapan, dan akhirnya atas nama “ misi mensukseskan hasil UN” melakukan kecurangan-kecurangan yang mendasar dan fatal.

Itulah dampak teror UN yang bisa dirasakan saat ini, sekarang bagaimana mensikapi teror tersebut dengan bijak di lapangan. Untuk para orang tua harus menjadi partner sekolah yang betul-betul mengetahui kekurangan dan kelebihan anaknya, siap anaknya manakala tidak LULUS dan tidak menyalahkan pihak sekolah, para guru dan para kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk menyamakan presepsi bahwa profesi guru adalah profesi mulia, sebagai seorang yang patut digugu dan ditiru, hendaknya menahan diri untuk melakukan perbuatan yang merendahkan martabatnya. Betapa harumnya profesi guru, terhormat ditengah masyarakat mana kala kita menjaga nya dengan sungguh-sungguh, kita jangan terjebak pada angka-angka hasil UN, namun lebih peduli pada proses yang menimbulkan angka-anga tersebut. Dengan kata lain, tidak ada artinya kesuksesan memperoleh hasil UN yang memuaskan, jika itu diperoleh melalui rekayasa-rakayasa yang menyesatkan.